Kebudayaan + sejarah

CERITA PENGALAMAN TENTANG BELAJAR SASANDO

Nama  Penulis  : Welly Wellem Therhanius Pah, SH

Biodata Penulis:

Tempat Tanggal Lahir  : Kupang, 07 September 1959
Pekerjaan   : Pegawai Negeri Sipil
Alamat    : Fontein Kupang
No. HP    : ((08)1339373772)

Indonesia Istana.png


SAYA BERMAIN SASANDO DI BELANDA DI STAN INDONESIA

  1. NIAT BELAJAR SASANDO

Saya belajar Sasando kurang lebih sekitar 45 tahun yang lalu, adapun keinginan saya pada waktu itu disebabkan karena rasa kwatir bahwa kalau tidak ada generasi (anak muda) yang bisa bermain Sasando maka alat musik tradisional ini hanya akan menjadi pajangan (hiasan) saja karena anak muda waktu itu lebih tertarik dengan bermain alat music moderen (main band). Pada waktu itu saya sering mengikuti Ayah saya (Leonard Eduard Pah) Beliau seorang Pakar Sasando dan sering bermain Sasando di berbagai acara, baik acara pemerintahan untuk menyambut tamu di Rumah Gubernur, di Hotel – hotel, di Radio dan berbagai tempat bahkan bersama Grup Tariannya pernah melakukan pertunjukan ke berbagai Negara seperti Belanda, Australia, Filipina Timor Dilli dan beberapa Negara dalam rangka misi kebudayaan. Disamping itu Beliau juga sering bermain Sasando di Gereja – Gereja, karena pada zaman itu Sasando juga digunakan sebagai alat musik untuk mengiringi lagu – lagu rohani dan karena pada waktu itu belum ada sasando listrik maka bentuk sasando harus dibuat didalam peti (box) sebagai resonansi suaranya agar kedengaran ketika dimainkan dan ketika saya berkunjung ke kota Soe dan Ba’a bersama Ayah pada zamannya ternyata Sasando tersebut masih digunakan di gereja dan Beliau sempat memainkannya.

melbourne.png

  1. TERCIPTANYA SASANDO LISTRIK.

Pada zamannya Ayah saya, Beliau bersama seorang temannya (Bapak Edon) mencoba untuk membuat Sasando Listrik dengan menggunakan spul (gulungan kawat yang dililitkan pada magnit speaker) kemudian ditempatkan didalam pipa paralon dan dipasang snar maka jadilah sasando listrik yang bunyinya bisa dikeraskan melalui Sound system, dengan pertimbangan bahwa kalau hanya bermain Sasando biasa bunyinya kurang keras dan kalau pertunjukan dilakukan diatas panggung yang ditonton banyak orang bunyinya tidak kedengaran dan dengan menggunakan paralon pengganti bambu dan di kaitkan dengan besi beton maka Sasando tidak lagi menggunakan box atau haik sebagai resonansi dan jari dari pemain sasando bisa dilihat ketika sedang bermain Sasando tersebut sejak saat itu sasando mulai dikembangkan denga pemasangan spul atau mik agar suaranya bisa didengar lebih keras sesuai keinginan pemain.

Disamping bermain Sasando Biola dengan jumlah senar sebanyak 62 dawai (snar) dengan nada solmisasi sampai dengan beberapa kunci, Ayah saya juga mampu bermain Sasando Gong yakni Sasando asli Suku

 

INI ADALAH ORANG – ORANG ROTE YANG BERMAIN SASANDO GONG DI ROTE NDAO

Sasando gong.png

(orang) Rote dengan jumlah senar sebanyak 9 dawai karena Beliau adalah orang Rote yang berasal dari tempat dimana Sasando di ciptakan (dari Rote Thi) dan sasando Gong ini dapat memainkan musik asli gamelan (gong) yang mengiringi tarian Rote dan lagu – lagu daerah Rote. Untuk saat ini hanya tinggal orang tua – tua saja yang bisa memainkan sasando asli ini dengan nada pentatonik dan inilah yang perlu dilestarikan sehingga tidak punah. Puncak kejayaan Sasando pada jaman Ayah Saya ketika mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur dipimpin oleh Bapak Benboi dimana Sasando menjadi musik primadona untuk menyambut setiap tamu dan acara – acara yang diselenggarakan di Rumah Gubernur selama dua perioede 10 (sepuluh) tahun dan para tamu Negara yang datang selalu diberikan cendramata (hadiah) Sasando pada waktu itu

 

              PAKAIAN ADAT ROTE NDAO LENGKAP DENGAN TOPI TI’I LANGGA 

Sasando pakaian.png

Saya memiliki kemampuan untuk memainkan beberapa alat musik secara baik seperti Drum, Piano Gitar Melodi dan Gitar Bass dan juga memiliki kemampuan untuk menggunakan peralatan Sound System dan Ampli musik, sehingga Saya bisa belajar sendiri untuk  bermain Sasando dan system setelan dan penempatan senar menggunakan patokan yang digunakan Ayah saya, karena setiap pemain sasando selalu mengunakan cara stel sasando menurut kebiasaannya masing – masing didalam penempatan not. Ada yang hampir sama dan ada juga berbeda sesuai kebiasaannya. Dari yang saya liat Sasando dimainkan tidak hanya lagu Pop Indonesia tetapi juga lagu Pop Barat dan yang sangat menarik bahwa sasando juga dimainkan beberpa lagu NTT untuk mengiringi tarian yang diciptakan seperti Lagu Bolelebo untuk tarian Cerana, Lagu Kecil – kecil daun ketimun untuk tari meminang dan tari sadap nira untuk mengiringi tarian – tarian pada jaman Gubernur yang pertama Lalamentik dan Gubernur kedua Eltari.

 

ACARA KONSER SASANDO DI KUPANG

Konser.png

  1. BERKEMBANGNYA SASANDO GONG MENJADI SASANDO BIOLA.

Berdasarkan pengalaman tersebut maka ketika Saya dipercayakan oleh mantan Gubernur Herman Musakabe untuk bermain musik mewakili duta seni NTT ke Amerika pada Tahun 1996, maka musik Sasando yang saya mainkan adalah semua lagu – lagu pada zaman sebelumnya dan lagu – lagu daerah dari hampir seluruh NTT dapat saya mainkan termasuk lagu daerah dari provinsi lain di Indonesia.Di Los Angeles saya sempat bertemu dengan beberapa profesor musik akustik dan mereka sangat tertarik dengan Sasando, saya diminta untuk bermain berbagai lagu dan menceriterakan tentang sejarah ditemukannya Sasando. Salah satu pertanyaan mereka yang cukup sulit untuk dijawab adalah mengenai mengapa dan kapan Sasando Gong yang merupakan alat musik tradisional Rote Ndao dengan nada pentatonik 9 (Sembilan) senar dapat berubah menjadi Sasando Biola dengan nada solmisasi yang berasal dari Eropa. Saya menjawab mereka berdasarkan cerita sejarah bahwa kurang lebih sekitar 400 tahun yang lalu dimana saat itu di Rote belum ada agama dan yang ada hanyalah kepercayaan masyarakat Rote secara turun – temurun dan lagu – lagu dan not musiknya hanyalah nada gong (pentatonik) yakni lo .. do.. re.. mi.. sol.. la ..do  dan  orang Rote dan orang – orang di pulau lainnya juga belum mengenal huruf jadi mereka tidak dapat membaca dan menulis (buta huruf). Kemudian mereka mendapat informasi bahwa kalao mau pintar harus pergi kesuatu tempat bernama Badawi.Berdasarkan Informasi tersebut kemudian tiga orang raja dari Rote Yakni Foembura Raja Thi, Raja Ba’a dan Raja Lole merencanakan pergi ke Badawi, mereka bersama beberapa orang dari suku – suku terdekat berusaha untuk membuat Perahu dan mulai berlayar dari sebuah tempat bernama Fiulain di daerah Thi ( Rote Barat Daya) dan dangan niat serta kemampuan yang dimiliki mereka ahirnya tiba di Badawi yang adalah Batavia nama lain dari Ibu kota Jakarta pada zaman penjajahan Belanda. Mereka bertemu dengan Gubernur Jenderal pada waktu itu dan meminta agar mereka dididik untuk menjadi pintar bisa membaca dan menulis, kemudian mereka diajar untuk bisa menulis dan membaca disamping itu juga mereka diajar untuk beberapa ketrampilan seperti membuat perhiasan dari perak dan emas, maka nya orang Rote Suku Ndao menjadi pandai membuat perhiasan, kemudian mereka juga diajar untuk membuat sawah, makanya cara bercocok tanam orang Rote sama dengan di Jawa membuat sawah bersusun sehingga pemanfaatan airnya menjadi maksimal. Kemudian mereka juga diajar untuk membuat minuman beralkohol dimana orang Rote bisa membuat Sopi (minuman) beralkohol Rote bernama Sopi dibuat dari pohon Tuak yang daunnya (haik) dipergunakan untuk membuat resonansi Sasando.Mereka juga diajar untuk membuat senjata, makanya sejak dulu orang Rote Thi selalu berperang melawan musuh dengan menggunakan senjata.

A10FkfYZKcs-c-uwQrRAL5veJ_shEV3tft7fv2hhAik.jpg

Setelah mereka pandai dan bisa membaca dan menulis maka mereka diizinkan pulang ke Rota Ndao dengan syarat harus membawa 2 (dua) Buku untuk diajarkan kepada masyarakat disana dan Buku yang pertama adalah Alkitab dan Buku yang kedua adalah Nyanyian Rohani berjudul Dau sahabat lama, dan sejak itu mereka mulai bernyanyi lagu – lagu yang berada dalam nyanyian Rohani yang not nya adalah solmisasi yakni do  ..re ..mi ..fa ..sol ..la ..si ..do .. seperti lagu Yesus ada sobat kita dan lagu Rohani lainnya dankarena Orang Rote yang memainkan Sasando, mereka adalah seniman sehingga ketika mendengar ada lagu baru dengan not solmisasi maka mereka berusaha untuk menambahkan senar pada Sasando menjadi solmisasi dilengkapi dengan senar untuk Melodi, Rithem dan Bass sehingga bisa memainkan lagu – lagu gereja (rohani) maka terciptalah Sasando dengan senar yang lebih banyak dan dipergunakan untuk memainkan lagu gereja dan agar dapat bersuara lebih keras mereka membuat box dan memasang Sasando didalamnya yang memiliki senar yang dapat memainkan lagu yang dimainkan dengan biola dan dulu Box Sasando tersebut dibuat modelnya seperti Biola dan senarnya dibuat dari suasa. Sasando seperti ini pernah saya melihat ketika Ayah Saya memainkan Sasando milik Toko Aloha di Kupang, dan Sejarah gerejawi mencatat bahwa Agama Kristen Protestan mulai berkembang pertama kali dari Rote dan seluruh anak – anak Raja dari daerah (pulau) lain kalau mau pintar mereka harus pergi belajar ke Rote dan Sejarah juga mencatat bahwa terbentuknya Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GEMIT) berkembang dari Rote Ndao tempat tiga orang Raja pulang dari Batavia.

Ketika akan berangkat ke Amerika saya bersama Opa Kristofel Pah membuat Sasando yang haiknya dapat dilipat sehingga dapat membawa beberapa Sasando kesana termasuk yang ukuran kecil untuk oleh –oleh dan sejak saat itu maka Sasando dengan model haik dilipat mulai dikembangkan dan menjadi model yang sangat di sukai terutama untuk cendera mata.

Dari sejarah tersebut maka selalu ada guyonan tetang Otak Rote yang artinya orang Rote selau pintar dan licik.

  1. SEJARAH TERBENTUKNYA SASANDO

Sasando merupakan sebuah Alat Musik Tradisional Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berasal dari Kabupaten Rote Ndao yakni sebuah pulau terselatan  dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan dengan Benua Australia dan Lautan Pasifik. Kata Sasando berasal dari Sari Sando yang berarti Petikan yang merdu, dimana alat musik ini dimainkan dengan menggunakan jari – jemari secara perpaduan kiri dan kanan sehingga dapat menghasilkan lagu (not) yang merdu. Keunikan dari Sasando (Sasando Biola) adalah memiliki  jumlah senar (Dawai) yang bervariasi baik senar melodi, rithim dan senar bass dengan jumlah 24 sampai dengan 62 sesuai kemampuan si pemain dan 9 (Sembilan ) senar untuk Sasando Tardisional (Sasando Gong) karena notnya adalah pentatonik sesuai Nada Gong Rote.

map.jpg

Menurut cerita para leluhur Sasando Gong diciptakan oleh seseorang pada zaman dahulu yang terinspirasi ketika melihat seekor laba – laba besar (Spider) yang sedang asik memainkan jaring (sarangnya) yang menghasilkan alunan musik yang indah. Ketika itu orang tersebut sedang berbaring dibawah Pohon Lontar (Pohon Tuak) karena menderita penyakit yang parah, dan menurut pikirannya mungkin Dia sudah meninggal dan telah sampai disurga sehingga bisa menyaksikan laba – laba (binatang) yang bisa bermain musik, tapi ternyata tidak sehingga setelah orang tersebut sembuh maka diambilnya sebatang Bambu dan disayat kulit bambu dari ujung tumpuan yang satu sampai ke ujung ruas tumpuan yang berikutnya tanpa putus bertumpu pada ruasnya kemudian diberi senda sehingga kalau dipetik dapat menghasilkan bunyi, dan untuk menghasilkan bunyi Sasando resonansi yang lebih besar maka Sasando tersebut dimasukan kedalam Haik yakni alat penimba yang dibuat dari daun Pohon Tuak maka jadilah Sasando dengan bentuk yang khas menggunakan bahan dari Bambu dan Haik karena orang Rote pada umumnya hidup menggunakan Budaya Lontar  daunnya dijadikan topi, Alas kaki, Haik untuk menimba air, Nira (tuak) dimasak menjadi Gula Rote, Batangnya dibuat rumah dan peti mati, sedangkan pelepahnya dibuat pagar.

 

Cara bermain Sasando adalah dengan menggunakan jari tangan kiri dan kanan secara serentak 6 sampai 10 jari tergantung kreatifitas dan kemahiran pemainnya untuk memetik snar Sasando dan dapat memainkan lagu Daerah Rote, lagu Daerah NTT dan Daerah Indonesia lainnya, lagu Pop Indonesia dan Lagu Pop Barat.Untuk dapat bermai Sasando tidaklah sulit asal pemain mempunyai keinginan untuk berlatih secara terus-menerus setiap hari.

Welly

  1. ROTE NDAO DENGAN POTENSI WISATA DAN BUDAYA

 

Rote Ndao sangat terkenal dengan Wisata Alamnya antara lain Pantai Nemberala dan Bo’a untuk Selancar, Laut mati dengan keunikan air asin tetapi hidup ikan air tawar dan kura –kura berleher panjang dan juga terdapat Batu Termanu untuk lokasi penyelam bertaraf internasional serta berbagai daerah pantai untuk lomba mancing mania. Alat Musik Sasando yang terbuat dari daun pohon lontar dengan gagang tengah sebagai pengikat senar terbuat dari bambu. Sasando ini dimainkan dengan cara dipetik. Selain sasando, orang Rote juga menggunakan gong sebagai alat musik.Jumlah gong yang digunakan biasanya 9 buah dan sebuah tambur. Kerajinan Tenun ikat motif Rote Ndao : Sarung, Selimut dan Selendang. Aneka ragam seni tenun ikat diukir dan ditenun sebagai bahan pakaian yang indah dan bermutu.Kain tradisional merupakan simbol kemartabatan dan harga diri dari orang Rote. Tenunan Rote Ndao, bergambar garis-garis lurus dan bersiku, dsb. Kombinasi warna sangant bervariasi, antara lain paduan hitam, putih dan merah menjadi ciri tenunan Rote Ndao.

Ciri Khas Budaya Rote Selain musik sasando ada topi adat Ti’i Langga atau Soulangga dan Rumah Adat Raja Rote.Selain budaya yang ada, masyarakat Kab.Rote Ndao juga memiliki budaya yang unik dan menakjubkan ketika alat musik gong dan tambur dibunyikan untuk mengiringi gerak dan tari yang dimainkan oleh warga setempat. Musik Sasando di petik untuk mengiringi lagu ?lagu Daerah Rote dan lagu nasional lainnya.

 

Berkunjung ke Kabupaten Rote dapat dilakukan melalui  Jalur Udara dan Laut, yaitu Pelabuhan Udara yang terdapat di Kabupaten Rote Ndao yaitu Bandar Udara Lekunik dengan klasifikasi klas V dengan panjang landasan pacu 900 m yang terletak di Sanggaoen Kecamatan Lobalain yang berjarak 6,75 km dari Baa. Bandara Lekunik menjadi salah satu alternatif transportasi masuk keluar Rote karena jarak tempuh berkisar 15 menit dari Kupang – Rote PP. Transportasi udara Kupang – Rote PP saat ini dilayani oleh 2 maskapai penerbangan yakni Merpati Air Lines 1 kali seminggu ( jumat ) dengan pesawat jenis Cassa 212 dan Transnusa Trigana Air 3 kali seminggu (senin, rabu, sabtu) dengan pesawat jenis ATR 42 dan Pelabuhan Ferry Pantai Baru merupakan pelabuhan penyebrangan utama yang melayani mobilisasi orang dan barang dari Rote ke Kupang dengan frekuensi pelayaran setiap hari. Jarak penyeberangan yang relatif pendek ( kurang lebih 4 jam ) menjadikan sarana transportasi ini menjadi penunjang ekonomi yang penting.